Sungguh menggelikan, sesungguhnya, mengikuti berita tuduhan penyalahgunaan dana DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) untuk kampanye presiden oleh para nama besar di negara ini. Pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri diseret ke pengadilan atas tuduhan korupsi di tubuh departemennya.
Selanjutnya, Rokhmin membeberkan semua aliran dana yang dicurigai tersebut. Muncullah nama-nama yang mengejutkan. Bahwa dana DKP tersebut diselewengkan Rokhmin untuk membantu dana kampanye para calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum tahun 2004.
Politisi Amien Rais cepat bereaksi. Ia mengakui bahwa ia memang menerima sekitar Rp 200 juta dari Rokhmin untuk membantu kampanyenya (dalam berita lain disebutkan Amien dan partainya menerima Rp 400 - Rp 600 juta, mis. Kompas, 24 Mei). Sembari itu, Amien memberitakan bahwa hampir semua kandidat juga menerima dana DKP. Yang aneh, kontan saja Amien dianggap pahlawan di mana-mana. Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, cepat membela dan mengajak publik untuk jangan sampai memenjarakan Amien, karena Amien adalah 'tokoh nasional yang sangat terhormat' (Kompas, 22 Mei). Seorang guru besar dari Universitas Diponegoro bahkan memujinya sebagai pemberi pencerahan pada pembelajaran hukum (Kompas, 23 Mei). Pernyataan Hidayat sungguh melecehkan sistem hukum: apakah jika seseorang adalah tokoh nasional dan sangat dihormati, dia bebas dari hukum? Pujian guru besar tersebut juga membingungkan: bagaimana seseorang yang melakukan pelanggaran dan lalu mengakui setelah dibeberkan oleh orang lain dianggap 'memberikan pencerahan'?
Kita menghargai sikap terus terang Amien. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan melakukan kesalahan seperti itu, kita bisa bebas hanya dengan segera mengakuinya? Apalagi, mengapa 'kejujuran' itu baru datang dalam posisi terdesak? Kita pun belum lupa dengan kejadian beberapa waktu lalu. Beberapa pebisnis yang sebelumnya dituduh melakukan korupsi besar-besaran dan lalu buron, berniat kembali. Mereka mengakui kesalahan dan bermaksud mengganti kerugian negara. Kita ingat reaksi publik. Sebagian besar mengecam. Intinya, sekali pencuri tetap pencuri. Tampaknya susah sekali bagi publik untuk menerima pengakuan yang mudah seperti itu. Publik bahkan marah, karena pebisnis-pebisnis tersebut bahkan diterima di Istana Negara. Apa bedanya dengan Amien Rais sekarang?
Di lain pihak, para tertuduh penyalahgunaan dana DKP yang lain juga muncul dengan reaksi yang beragam. Salah satunya, Presiden SBY sendiri akhirnya melakukan konferensi pers untuk menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah (Kompas, 26 Mei). Ia mengecam tindakan Amien Rais yang menurutnya mencemarkan nama baiknya. SBY bahkan mengutip ayat-ayat KUHP yang menyatakan bahwa tindakan seperti itu bisa diganjar 9 bulan penjara. Anehnya, SBY mengindikasikan bahwa ia tidak akan menuntut Amien, kecuali jika yang terakhir ini "nyata-nyata Pak Amien Rais menuduh saya di depan umum". Kita pun bertanya-tanya. Jika benar SBY tidak perlu menuntut Amien Rais sekarang, mengapa ia sampai perlu melakukan konferensi pers dan mengatkan bahwa Amien melakukan pencemaran nama baik? Tetapi kemudian, jika benar Amien Rais mencemarkan nama baik, mengapa ia tidak dituntut sekarang juga? Sikap SBY seperti ini justru dapat merugikan dirinya sendiri. Terbukti, Amien segera menanggapi dengan "saya tidak akan lari dari tuntutan". Sebuah momentum lagi buat Amien Rais.
Sampai saat ini, berdasarkan kesaksian Didi Sadili, Kepala Bagian Umum Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP dalam pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), besarnya dana yang diterima Amien Rais-Siswono Yudohusodo adalah Rp 400 juta, Hamzah Haz-Agum Gumelar Rp 215 juta, Megawati Soekarnoputra-Hasyim Muzadi Rp 280 juta, SBY-JK Rp 477.5 juta, dan Wiranto-Sholahuddin Wahid Rp 220 juta (The Jakarta Post, 26 Mei).
Beberapa politisi juga memberikan respon di media. Sutrisno Bachir dari PAN, misalnya, mengatakan akan mengembalikan dana DKP yang diterima PAN (Amien), mengingat dana tersebut adalah "uang rakyat" (Metro TV, 26 Mei). Sementara Fahri Hamzah dari PKS yang saat ini menjadi anggota DPR mengatakan bahwa Badan Kehormatan DPR tidak berhak memeriksa dia, karena pada saat ia menerima uang dari DKP, ia belum menjadi anggota DPR (Kompas, 26 Mei). Pertanyaan kita tentunya adalah, apakah dengan mengembalikan dana dan mengklain bahwa sebuah institusi tidak berhak memerika, berarti mereka tidak bersalah?
Di sini kita semakin percaya dengan diktum ekonomi: people respond to incentives. Setiap orang selalu tanggap akan insentif. Siapa pun dia.
Tambahan: Ternyata memang benar-benar komedi murahan. Seperti diberitakan di sini (Kompas, 29 Mei).
Catatan: Untuk alasan yang tidak saya ketahui, RSS-feed untuk blog ini tidak ter-update dalam Bloglines maupun di Google Reader. Saya sedang berusaha memperbaikinya. Mohon maaf. Menurut Bloglines, hal ini bisa terjadi untuk WordPress. Saya memang menggunakan klon WordPress untuk Blogger di sini (lihat kredit di bawah). Terima kasih, dan mohon bersabar. (Aco)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Karena sudah merupakan 'aktivitas rutin', bukan komedi lagi namanya, penonton sudah bosan menunggu 'show' berakhir :-)
ah DKP bisa aja, itu dana jaminan agar DKP nggak jadi dilebur dgn Dept terdekatnya.
Post a Comment