Kita sadari, peran pekerja migran kita (TKI maupun TKW) tidaklah kecil. Mereka di sektor formal mengirimkan pendapatan mereka kembali ke Indonesia (remitansi) sebesar 70 persen, sementara yang di sektor informal mengirim 90 persen dari pendapatan mereka. Dengan 2 juta TKI/TKW di sektor informal dan 1 juta di sektor formal dan dengan variasi upah di berbagai negara, maka remitansi ke Indonesia bisa mencapai sekitar 500 juta dollar per bulan, atau 2 persen dari PDB (LPEM, 2005; Depnakertrans, 2005).
Banyak pihak yang menyarankan agar kualitas TKI/TKW ditingkatkan agar remitansi bisa lebih banyak lagi. Sampai tingkat tertentu, jelas saran ini sangat perlu didukung. Tapi tidak perlu terlalu memaksakan. Kebanyakan TKI/TKW memperoleh kerja di luar negeri karena memang tingkat keterampilan mereka cocok dengan yang dibutuhkan oleh pemberi kerja. ’Cocok’ di sini berarti sesuai dengan upah yang dibayarkan kepada mereka. Maksud baik pemerintah Indonesia (dan para pengamat isu ini) untuk menaikkan kualitas keterampilan TKI/TKW agar dapat memperoleh kenaikan upah di negeri seberang belum tentu terealisasi, karena pemberi kerja tentu mempertimbangkan hal ini juga. Kemungkinan yang jelek, namun masuk akal, adalah bahwa pemberi kerja mengurangi permintaan mereka akan TKI/TKW Indonesia dan mencoba mencari substitusi dari negara pemasok lain yang bisa mengirim pekerja migran dengan upah yang lebih rendah. Mengapa mereka (pemberi kerja) tidak menginginkan kualitas yang lebih tinggi? Karena di negara mereka sudah ada tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi tersebut (baik itu domestik, ataupun juga pekerja migran dari negara lain).
Seringkali kita malu dan minder karena kita hanya bisa mengirim TKI/TKW yang berkualitas rendah. Tapi kualitas adalah konsep relatif. ’Rendah’ bisa berarti ’cocok’ dalam pasar kerja – baik pasar kerja domestik maupun internasional, jika memang upah yang dibayarkan sesuai dengan produktivitas yang mereka sumbangkan. Rasa minder mendorong kita untuk memaksakan peningkatan kualitas yang kita ukur dengan perspektif kita, bukan perspektif calon pekerja dan calon pemberi kerja. Kita seolah-olah lebih tahu apa yang terbaik bagi orang lain. Kita ingin mengirim sarjana ke Malaysia, Saudi Arabia, dan lainnya. Padahal mereka sendiri punya banyak SDM seperti itu. Yang mereka cari adalah pekerja-pekerja untuk mengisi kekosongan di negara mereka: pekerja dengan keterampilan seadanya, sesuatu yang banyak kita miliki.
Memaksakan pelatihan dan segala macam program pra-pengiriman kepada calon TKI/TKW bisa counter-productive: ia bisa menurunkan permintaan, dan, seperti yang sering kita amati di media, menciptakan ladang pemerasan terhadap para calon pekerja oleh oknum-oknum penyalur tak bertanggung jawab.
Tambahan: Menurut berita AFP yang dilansir oleh The Jakarta Post hari ini (28 Mei), Malaysia saat ini mempekerjakan (lebih dari) 350 ribu tenaga pembantu. Dari jumlah itu, 95 persen berasal dari Indonesia. Pembantu dari Filipina berjumlah hampir 20 ribu. Namun mereka dibayar 3 kali lipat pembantu Indonesia, karena "kemampuan bahasa Inggris yang lebih baik". Kita cenderung akan menyimpulkan bahwa jika bahasa Inggris pembantu Indonesia bisa sebaik pembantu Filipina, upahnya juga akan meningkat 3 kali lipat. Kesimpulan seperti ini menafikan sisi permintaan. Jika pembantu Indonesia berkualitas sama dengan pembantu Filipina, hal yang mungkin terjadi adalah pertama, upah rata-rata pembantu Filipina akan turun dan upah rata-rata pembantu Indonesia akan naik. Kedua, mereka yang selama ini hanya bersedia mempekerjakan pembantu Indonesia dengan upah yang murah (dan tidak bersedia mempekerjakan pembantu Filipina karena upahnya lebih tinggi) akan beralih ke pembantu lain, misalnya dari Cina (seperti yang tersirat dari berita AFP tersebut). Kombinasi dari kedua kemungkinan ini juga bisa saja terjadi: dengan peningkatan kualitas bahasa Inggris, upah relatif pembantu Indonesia akan sedikit naik dan pekerja Cina akan masuk mengisi kesenjangan (terutama bagi keluarga marjinal yang hanya mampu membayar 1/3 tingkat upah pembantu Filipina, dengan konsekuensi kendala bahasa).
7 comments:
Bagus dan setuju, kalau "pasar"nya memang tidak meminta/membutuhkan jenis skilled labour yah jangan disodorkan susah-susah yang seperti itu, nanti malah tidak laku.
Anyway, good blog.....!!
Hmmm....itu tidak berarti kalau kita membiarkan mereka terus menerus dalam "kebodohan" dan proses "eksport" manusia "kualitas rendah" terus dilakukan...Benar khan Pak?
Seharusnya kita berpikir kenapa bukan negara kita saja yang jadi negara "pengimport" TKI atau TKW dengan kualitas rendah dari negara lain?Kenapa negara kita terlalu banyak manusia dengan "kualitas rendah"?Bukankah kita juga butuh sarjana untuk negara kita? Kenapa kita memikirkan permintaan manusia "kualitas rendah" dari negara lain tapi tidak memperhatikan permintaan manusia "kualitas tinggi" dari negara kita sendiri?Jadi menurut saya mereka tetap harus belajar...masalah oknum tak bertanggung jawab adalah masalah mental orang2 "buruk" yang seharusnya tidak dijadikan alasan supaya mereka tidak belajar...
Thanks, Thamrin!
Masarina, bukan, bukan berarti kita mau membiarkan masyarakat kita terus dalam kebodohan. Tapi kita juga jangan berpikir bahwa kitalah yang paling tahu apa yang terbaik bagi orang lain. Kita harus peduli dengan pendidikan dasar bagi semua orang, tapi apakah mereka mau melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, itu urusan mereka. Jika mereka merasa lebih baik bekerja daripada sekolah, itulah yang terbaik bagi mereka.
Mari kita bermain peran. Seumpamanya saya seorang calon majikan di negeri jiran, kualifikasi apa yang saya inginkan dari seorang pekerja nonformal (PRT)? Jawabnya, saya butuh yang mampu bekerja dengan cakap, jujur, bisa berkomunikasi dengan baik, bisa dipercaya, dan kualitas lainnya. Saya tidak butuh yang akademisnya tinggi, karena untuk lawan bicara yang sepadan saya toh bisa mencarinya di komunitas lain. Menurut saya, pembekalan terhadap TKI/TKW tetap diperlukan. Bukan kemampuan yang terkait akademis, tapi lebih pada cara berkomunikasi yang baik, penguatan kepribadian seperti cara bersikap dan bertingkah laku (tapi tidak perlulah lewat kursus Jhon Robert Power :p ), pengetahuan hak-hak dasar selama di negeri orang, kemampuan dasar baca tulis, dan sejenisnya. Ada banyak loh yang ketika dites ternyata gak bisa baca dan tulis. Kecuali si majikan yang psycho, kejadian yang tidak mengenakkan sering juga bermula dari si pekerja. Kalo gak salah, it takes 2 to tango. Ya kan?
Gianie, standar minimum seperti mampu berkomunikasi tentu saja sudah merupakan syarat awal yang sudah terkoreksi dalam harga/upah. Kalau tidak bisa berkomunikasi, mana mungkin laku? Yang saya maksud adalah seruan para pengamat yang 'malu' dengan 'kualitas pekerja migran yang rendah', karena itu kita harus 'mengekspor yang berketerampilan tinggi', tanpa pernah bicara tentang konsekuensi di sisi permintaannya.
Rekan,
usulan anda untuk tidak memaksakan TKI belajar, mengandung dua masalah mendasar yang sangat berbahaya: 1) anda membuat asumsi dan persepsi subyektif tanpa didasari fakta; 2) anda salah mengartikan apa artinya meningkatkan kualitas TKI.
Pertama, apakah anda tahu apa masalah mendasar yang dihadapi para TKI, khususnya yang bekerja di sektor domestik alias para pekerja rumahtangga (PRT)? Mengapa begitu banyak kasus yang menimpa mereka (perkosaan, penganiayaan, kematian, pemerasan/eksploitasi, kerja paksa, dll)? Selain karena faktor struktural, yaitu minimnya perlindungan legal terhadap para TKI yang bekerja di sektor domestik, yg berdampak pada diserahkannya nasib mereka pada agency dan majikan, juga karena tidak memadainya pendidikan/ pelatihan yang mereka dapatkan sebelum bekerja di luar negeri. Tidak ada standar dalam hal pendidikan utk para TKI, terutama dalam hal kemampuan berbahasa, pengetahuan tentang hak mereka dan tentang masyarakat dan aturan di negara tujuan tempat mereka bekerja. Yang terjadi, pendidikan utk para TKI Indonesia cenderung menyiapkan mereka menjadi budak. Inilah yg melatarbelakangi tingginya angka kasus yang dihadapi TKI. Kalau anda menyarankan agar TKI tidak perlu belajar, karena toh mereka hanya akan jadi PRT, itu artinya anda membiarkan mereka menjadi TKI yang tidak tahu hak, siap diperlakukan apa saja oleh agen dan majikan karena pengetahuan dan ketrampilan mereka kurang memadai untuk menjadi PRT yang asertif, yang bisa dan berani mengatakan "tidak" ketika diperlakukan sewenang-wenang dan tahu apa yg harus dilakukan ketika menghadapi masalah di negeri orang. Anda melecehkan pekerjaan PRT yang seolah-olah tidak perlu pendidikan/ketrampilan memadai.
Kedua, anda salah memahami apa artinya meningkatkan kualitas TKI. Peningkatan kualitas TKI anda pahami sebagai cara untuk meningkatkan jumlah TKI yang bekerja di sektor formal, sehingga jumlah remittance yang dikirim ke Indonesia meningkat. Salah besar kalau peningkatan kualitas TKI anda pahami dengan cara demikian. Peningkatan kualitas TKI tidak hanya ditujukan agar TKI Indonesia juga dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja global, khususnya di sektor formal, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas TKI di sektor informal/domestik. Posisi tawar Indonesia dalam hal ketenagakerjaan sangat rendah dibandingkan Pilipina, yang mayoritas juga mengirim pekerja di sektor domestik. Meskipun sama-sama bekerja di sektor domestik, PRT dari Pilipina jauh lebih berkualitas karena Pilipina punya sistem pendidikan utk PRT jauh lebih baik dari Indonesia. PRT Pilipina diwajibkan untuk belajar lebih baik dan lebih siap menghadapi situasi kerja di luar negeri. Dalam menghadapi persaingan di pasaran kerja internasional, Indonesia lebih banyak mengandalkan dan menawarkan "upah murah" daripada menawarkan "kualitas". Tidak mengherankan kalau angka kasus yang dihadapi PRT Indonesia paling tinggi dibandingkan negara-negara lain. Di Singapura saja, misalnya, PRT Pilipina cenderung mendapat majikan kelas menengah atas yg mampu bayar PRT tinggi, sementara PRT Indonesia lebih banyak dipekerjakan wwarga kelas menengah bawah yg tidak mampu bayar PRT dengan standar seperti PRT Pilipina. Mengapa? Salah satunya karena kemampuan bahasa PRT Indonesia masih kalah dengan PRT Pilipina.
Ini saja, semoga anda semakin paham apa artinya pendidikan buat para TKI. Pendidikan (dan perlindungan) yang baik adalah hak setiap TKI, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Bahkan TKI yg bekerja di sektor informal lebih membutuhkan pendidikan dan perlindungan khusus, karena karakter pekerjaan mereka yang di berbagai negara tujuan tidak diatur/dicover oleh undang-undang ketenagakerjaan. Nasib mereka sangat bergantung pada kebaikan agency dan majikan, karenanya mereka harus disiapkan dgn baik agar bisa menghadapi situasi seperti ini.
Salam solidaritas
bagi para TKI
Institute for Ecosoc Rights
email: ecosoc@cbn.net.id
website: http://ecosocrights.blogspot.com
Ecosoc, terima kasih atas penjelasan Anda. Pertama, saya setuju bahwa perlindungan hukum untuk para TKI/TKW saat ini sangat minim. Jika ada ruang untuk membantu TKI/TKW, ruang itu adalah fasilitasi hukum dan perlindungan keselamatan kerja. Bukan pemaksaan atau kewajiban untuk mengikuti berbagai macam program latihan atau sekolah. Kedua, saya tidak mengatakan bahwa sebaiknya kita mengirim mereka yang sama sekali tidak bisa apa-apa. Jelas, jika memang demikian, bahkan permintaannya pun saya kuatir tidak ada. Karena itu, seperti komentar saya kepada penanya yang lain, standar minimum bisa saja diberlakukan. Yang saya kuatirkan adalah adanya persepsi bahwa mengirimkan TKI/TKW lulusan SMA atau lebih rendah itu tidak baik, dan bahwa sebaiknya yang Indonesia kirim bukan lagi mereka, tetapi sarjana-sarjana. Tentu, jika kita bisa mengekspor sarjana, itu adalah sesuatu yang baik dan membanggakan. Tapi itu tidak akan berhasil jika permintaannya sendiri tidak ada.
Post a Comment