Catatan: Untuk alasan yang tidak saya ketahui, RSS-feed untuk blog ini tidak ter-update dalam Bloglines maupun di Google Reader. Saya sedang berusaha memperbaikinya. Mohon maaf. Menurut Bloglines, hal ini bisa terjadi untuk WordPress. Saya memang menggunakan klon WordPress untuk Blogger di sini (lihat kredit di bawah). Terima kasih, dan mohon bersabar. (Aco)

Friday, May 25, 2007

Komedi Tingkat Tinggi (Atau Rendah?)

Sungguh menggelikan, sesungguhnya, mengikuti berita tuduhan penyalahgunaan dana DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) untuk kampanye presiden oleh para nama besar di negara ini. Pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri diseret ke pengadilan atas tuduhan korupsi di tubuh departemennya.

Selanjutnya, Rokhmin membeberkan semua aliran dana yang dicurigai tersebut. Muncullah nama-nama yang mengejutkan. Bahwa dana DKP tersebut diselewengkan Rokhmin untuk membantu dana kampanye para calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum tahun 2004.

Politisi Amien Rais cepat bereaksi. Ia mengakui bahwa ia memang menerima sekitar Rp 200 juta dari Rokhmin untuk membantu kampanyenya (dalam berita lain disebutkan Amien dan partainya menerima Rp 400 - Rp 600 juta, mis. Kompas, 24 Mei). Sembari itu, Amien memberitakan bahwa hampir semua kandidat juga menerima dana DKP. Yang aneh, kontan saja Amien dianggap pahlawan di mana-mana. Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, cepat membela dan mengajak publik untuk jangan sampai memenjarakan Amien, karena Amien adalah 'tokoh nasional yang sangat terhormat' (Kompas, 22 Mei). Seorang guru besar dari Universitas Diponegoro bahkan memujinya sebagai pemberi pencerahan pada pembelajaran hukum (Kompas, 23 Mei). Pernyataan Hidayat sungguh melecehkan sistem hukum: apakah jika seseorang adalah tokoh nasional dan sangat dihormati, dia bebas dari hukum? Pujian guru besar tersebut juga membingungkan: bagaimana seseorang yang melakukan pelanggaran dan lalu mengakui setelah dibeberkan oleh orang lain dianggap 'memberikan pencerahan'?

Kita menghargai sikap terus terang Amien. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan melakukan kesalahan seperti itu, kita bisa bebas hanya dengan segera mengakuinya? Apalagi, mengapa 'kejujuran' itu baru datang dalam posisi terdesak? Kita pun belum lupa dengan kejadian beberapa waktu lalu. Beberapa pebisnis yang sebelumnya dituduh melakukan korupsi besar-besaran dan lalu buron, berniat kembali. Mereka mengakui kesalahan dan bermaksud mengganti kerugian negara. Kita ingat reaksi publik. Sebagian besar mengecam. Intinya, sekali pencuri tetap pencuri. Tampaknya susah sekali bagi publik untuk menerima pengakuan yang mudah seperti itu. Publik bahkan marah, karena pebisnis-pebisnis tersebut bahkan diterima di Istana Negara. Apa bedanya dengan Amien Rais sekarang?

Di lain pihak, para tertuduh penyalahgunaan dana DKP yang lain juga muncul dengan reaksi yang beragam. Salah satunya, Presiden SBY sendiri akhirnya melakukan konferensi pers untuk menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah (Kompas, 26 Mei). Ia mengecam tindakan Amien Rais yang menurutnya mencemarkan nama baiknya. SBY bahkan mengutip ayat-ayat KUHP yang menyatakan bahwa tindakan seperti itu bisa diganjar 9 bulan penjara. Anehnya, SBY mengindikasikan bahwa ia tidak akan menuntut Amien, kecuali jika yang terakhir ini "nyata-nyata Pak Amien Rais menuduh saya di depan umum". Kita pun bertanya-tanya. Jika benar SBY tidak perlu menuntut Amien Rais sekarang, mengapa ia sampai perlu melakukan konferensi pers dan mengatkan bahwa Amien melakukan pencemaran nama baik? Tetapi kemudian, jika benar Amien Rais mencemarkan nama baik, mengapa ia tidak dituntut sekarang juga? Sikap SBY seperti ini justru dapat merugikan dirinya sendiri. Terbukti, Amien segera menanggapi dengan "saya tidak akan lari dari tuntutan". Sebuah momentum lagi buat Amien Rais.

Sampai saat ini, berdasarkan kesaksian Didi Sadili, Kepala Bagian Umum Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP dalam pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), besarnya dana yang diterima Amien Rais-Siswono Yudohusodo adalah Rp 400 juta, Hamzah Haz-Agum Gumelar Rp 215 juta, Megawati Soekarnoputra-Hasyim Muzadi Rp 280 juta, SBY-JK Rp 477.5 juta, dan Wiranto-Sholahuddin Wahid Rp 220 juta (The Jakarta Post, 26 Mei).

Beberapa politisi juga memberikan respon di media. Sutrisno Bachir dari PAN, misalnya, mengatakan akan mengembalikan dana DKP yang diterima PAN (Amien), mengingat dana tersebut adalah "uang rakyat" (Metro TV, 26 Mei). Sementara Fahri Hamzah dari PKS yang saat ini menjadi anggota DPR mengatakan bahwa Badan Kehormatan DPR tidak berhak memeriksa dia, karena pada saat ia menerima uang dari DKP, ia belum menjadi anggota DPR (Kompas, 26 Mei). Pertanyaan kita tentunya adalah, apakah dengan mengembalikan dana dan mengklain bahwa sebuah institusi tidak berhak memerika, berarti mereka tidak bersalah?

Di sini kita semakin percaya dengan diktum ekonomi: people respond to incentives. Setiap orang selalu tanggap akan insentif. Siapa pun dia.

Tambahan: Ternyata memang benar-benar komedi murahan. Seperti diberitakan di sini (Kompas, 29 Mei).

Sunday, May 20, 2007

Menimbang Desa (1)

Pagi ini di harian The Jakarta Post terpampang foto Presiden SBY dan istri sedang berbelanja di sebuah warung tepi jalan di Bogor. Dalam berita di bawahnya disebutkan betapa SBY terkejut menemukan fakta bahwa bensin dijual di dalam botol dengan harga Rp 300 lebih mahal ketimbang harga yang ditetapkan pemerintah. Jika berita tersebut benar, alangkah menggelikan, bahwa seorang doktor dalam bidang ekonomi terkejut dengan tindakan rasional semacam yang dilakukan oleh si pedagang tersebut. Kita mahfum, di dalam lingkungan ekonomi yang direstriksi, insentif untuk menaikkan harga selalu muncul, dan akan terealisasi jika permintaan pun menyambut.

Artikel tersebut bahkan mengutip SBY bahwa hanya dengan tinjauan dadakan ke lapangan seperti itulah, pemerintah bisa secara penuh mengerti sejauh mana program-program pembangunan bisa efektif, terutama di desa-desa. Kita lalu berpikir, apakah dengan demikian, sebaiknya semua menteri dan jajarannya melakukan kunjungan 'dadakan secara rutin' ke lapangan? Beberapa kali sudah kita amati, betapa kunjungan-kunjungan semacam itu sungguh bersifat artifisial. Dan yang menjengkelkan, seringkali memacetkan jalan dan justru menghentikan kegiatan ekonomi.

Alangkah baiknya jika pemerintah berfokus kepada tugas utama mereka -- yang tentunya tidak perlu kita jabar-beberkan di sini. Saluran untuk mengambil keputusan publik sesungguhnya sudah terbangun. Tinggal menggunakannya dengan baik. Salah satu arus umpan balik adalah lewat studi-studi yang dilakukan pihak ketiga. Ketimbang pemerintah harus setiap minggu mengganggu kegiatan ekonomi masyarakat, misalnya, mereka bisa hemat waktu dengan duduk menekuni laporan-laporan dari berbagai pihak.

Tentang desa, misalnya, banyak sekali hal dan fakta penting yang sesungguhnya sudah ditemukan. Pemerintah tinggal mencoba menimbang-nimbang keputusan publik seperti apa yang merupakan konsekuensi logis dari temuan-temuan (dan rekomendasi-rekomendasi) tersebut. Misalnya, studi LPEM-FEUI dan Bank Dunia beberapa waktu lalu menemukan hal-hal menarik sbb:

  1. Kendala utama bagi investasi di desa adalah kurangnya permintaan akan barang dan jasa, diikuti oleh kurangnya akses ke fasilitas kredit formal, buruknya akses jalan, dan tingginya biaya tarnsportasi.
  2. Sebagian besar kesempatan kerja di Indonesia saat ini berada di sektor non-pertanian. Pelaku utama sektor non-pertanian adalah perusahaan mikro dan kecil. Kebanyakan mereka berfokus kepada perdagangan dan jasa. Mereka pada umumnya berusia muda dan hanya sedikit yang terdaftar (memiliki TDP). Mereka berfokus pada pasar lokal.
Banyak lagi hal-hal menarik dan penting yang akan kita lanjutkan dalam catatan yang lain.

Monday, May 14, 2007

Jangan Paksa Mereka Belajar

Kita sadari, peran pekerja migran kita (TKI maupun TKW) tidaklah kecil. Mereka di sektor formal mengirimkan pendapatan mereka kembali ke Indonesia (remitansi) sebesar 70 persen, sementara yang di sektor informal mengirim 90 persen dari pendapatan mereka. Dengan 2 juta TKI/TKW di sektor informal dan 1 juta di sektor formal dan dengan variasi upah di berbagai negara, maka remitansi ke Indonesia bisa mencapai sekitar 500 juta dollar per bulan, atau 2 persen dari PDB (LPEM, 2005; Depnakertrans, 2005).

Banyak pihak yang menyarankan agar kualitas TKI/TKW ditingkatkan agar remitansi bisa lebih banyak lagi. Sampai tingkat tertentu, jelas saran ini sangat perlu didukung. Tapi tidak perlu terlalu memaksakan. Kebanyakan TKI/TKW memperoleh kerja di luar negeri karena memang tingkat keterampilan mereka cocok dengan yang dibutuhkan oleh pemberi kerja. ’Cocok’ di sini berarti sesuai dengan upah yang dibayarkan kepada mereka. Maksud baik pemerintah Indonesia (dan para pengamat isu ini) untuk menaikkan kualitas keterampilan TKI/TKW agar dapat memperoleh kenaikan upah di negeri seberang belum tentu terealisasi, karena pemberi kerja tentu mempertimbangkan hal ini juga. Kemungkinan yang jelek, namun masuk akal, adalah bahwa pemberi kerja mengurangi permintaan mereka akan TKI/TKW Indonesia dan mencoba mencari substitusi dari negara pemasok lain yang bisa mengirim pekerja migran dengan upah yang lebih rendah. Mengapa mereka (pemberi kerja) tidak menginginkan kualitas yang lebih tinggi? Karena di negara mereka sudah ada tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi tersebut (baik itu domestik, ataupun juga pekerja migran dari negara lain).

Seringkali kita malu dan minder karena kita hanya bisa mengirim TKI/TKW yang berkualitas rendah. Tapi kualitas adalah konsep relatif. ’Rendah’ bisa berarti ’cocok’ dalam pasar kerja – baik pasar kerja domestik maupun internasional, jika memang upah yang dibayarkan sesuai dengan produktivitas yang mereka sumbangkan. Rasa minder mendorong kita untuk memaksakan peningkatan kualitas yang kita ukur dengan perspektif kita, bukan perspektif calon pekerja dan calon pemberi kerja. Kita seolah-olah lebih tahu apa yang terbaik bagi orang lain. Kita ingin mengirim sarjana ke Malaysia, Saudi Arabia, dan lainnya. Padahal mereka sendiri punya banyak SDM seperti itu. Yang mereka cari adalah pekerja-pekerja untuk mengisi kekosongan di negara mereka: pekerja dengan keterampilan seadanya, sesuatu yang banyak kita miliki.

Memaksakan pelatihan dan segala macam program pra-pengiriman kepada calon TKI/TKW bisa counter-productive: ia bisa menurunkan permintaan, dan, seperti yang sering kita amati di media, menciptakan ladang pemerasan terhadap para calon pekerja oleh oknum-oknum penyalur tak bertanggung jawab.

Tambahan: Menurut berita AFP yang dilansir oleh The Jakarta Post hari ini (28 Mei), Malaysia saat ini mempekerjakan (lebih dari) 350 ribu tenaga pembantu. Dari jumlah itu, 95 persen berasal dari Indonesia. Pembantu dari Filipina berjumlah hampir 20 ribu. Namun mereka dibayar 3 kali lipat pembantu Indonesia, karena "kemampuan bahasa Inggris yang lebih baik". Kita cenderung akan menyimpulkan bahwa jika bahasa Inggris pembantu Indonesia bisa sebaik pembantu Filipina, upahnya juga akan meningkat 3 kali lipat. Kesimpulan seperti ini menafikan sisi permintaan. Jika pembantu Indonesia berkualitas sama dengan pembantu Filipina, hal yang mungkin terjadi adalah pertama, upah rata-rata pembantu Filipina akan turun dan upah rata-rata pembantu Indonesia akan naik. Kedua, mereka yang selama ini hanya bersedia mempekerjakan pembantu Indonesia dengan upah yang murah (dan tidak bersedia mempekerjakan pembantu Filipina karena upahnya lebih tinggi) akan beralih ke pembantu lain, misalnya dari Cina (seperti yang tersirat dari berita AFP tersebut). Kombinasi dari kedua kemungkinan ini juga bisa saja terjadi: dengan peningkatan kualitas bahasa Inggris, upah relatif pembantu Indonesia akan sedikit naik dan pekerja Cina akan masuk mengisi kesenjangan (terutama bagi keluarga marjinal yang hanya mampu membayar 1/3 tingkat upah pembantu Filipina, dengan konsekuensi kendala bahasa).

Reformasi Birokrasi (dan Parlemen?)

Sering sekali kita dengar istilah 'reformasi birokrasi'. Bahkan ia sudah cenderung menjadi seperti mantra, seperti frase 'iklim investasi yang jelek', atau, beberapa tahun lalu, 'deregulasi dan debirokratisasi' dan 'korupsi, kolusi, dan nepotisme'. Kita memang suka jargon.

Tanpa perlu mengerti apa arti mereka sebenarnya.

Tapi yang satu ini, 'reformasi birokrasi' memang menarik. Sampai saat ini, tak satupun pakar atau media yang memberikan definisi yang jelas. Apalagi cara melakukannya.

Maka wajar kalau kemudian kita mereka-reka. Mungkin begini:

  1. Jangan hanya mereformasi birokrasi atau eksekutif. Parlemen (legislatif) dan pengadilan (yudikatif) pun penuh borok yang butuh 'reformasi' -- apa pun itu.
  2. Naikkan gaji pegawai negeri (besarnya, tentu dengan pertimbangan yang matang).
  3. Pangkas ukuran pemerintahan yang begitu besar ini (misalnya, hapuskan saja Kementerian Pemuda dan Olahraga, Pemberdayaan Wanita, dan beberapa lagi yang tidak perlu).
  4. Sederhanakan hirarki hukum dan peraturan (dan jangan lagi ada yang aneh-aneh, seperti Amanat Presiden alias Ampres).
  5. Bubarkan MPR yang tidak lagi punya fungsi yang berarti.
  6. Berikan mandat kepada DPD sebesar yang diberikan kepada DPR (termasuk wewenang mengesahkan UU), agar mereka bisa saling kontrol, dan terjadi spesialisasi (tentu saja, DPD menjadi juru bicara rakyat daerah dan DPR menjadi juru bicara rakyat nasional).
  7. Hapuskan DPRD, karena DPD seharusnya sudah mewakili mereka.
  8. Ciptakan persaingan di antara pengadilan secara horisontal (sebagai tambahan sistem vertikal).
  9. ... dan seterusnya.

Setiap orang berhak berpendapat, toh?

Revolusi Petani? Petani Mana?

Seorang kawan yang bekerja di koran mengirim email. Ia kuatir akan terjadi "pemberontakan petani beberapa bulan mendatang". Menurutnya, revolusi akan terjadi karena "petani manahan berasnya untuk persediaan sendiri" dan "negara pengekspor beras juga akan menahan berasnya".

Saya tidak percaya.

Ketika beras sulit ditemui di pasar, harga dari beras yang masih ada menjadi tinggi. Adalah tidak masuk akal, jika petani yang butuh uang tidak memanfaatkan keadaan itu untuk menjual berasnya.

Sama saja dengan negara-negara pengekspor beras. Apa keuntungan bagi mereka menahan beras jika ada permintaan yang luar biasa dari Indonesia? Lagipula, pengekspor beras nomor satu, Vietnam, Januari ini bergabung dengan WTO. Salah satu komitmen mereka adalah menghapus monopoli ekspor oleh negara. Dengan begitu, kendali ekspor oleh pemerintah semakin renggang. Artinya, siapa pun nantinya akan bebas mengekspor beras keluar Vietnam. Dan Indonesia adalah salah satu pasar yang akan memberikan keuntungan besar bagi mereka.

Pertanyaan yang wajar adalah, tapi bagaimana jika pemerintah Indonesia tidak memperbolehkan impor, atau paling tidak membatasi impor seperti saat ini? Di sinilah kuncinya. Mengapa pula pemerintah masih menahan impor jika di dalam negeri ada kemungkinan krisis beras seperti yang ditakutkan kawan saya?