Isu hangat belakangan ini adalah apakah akan ada krisis ekonomi lagi a la 1997/98. Saya tidak percaya Indonesia akan kena lagi. Pertama, cadangan devisa kita mendekati USD 50 milyar -- akan relatif lebih mudah untuk meredam gejolak ketimbang kondisi kita 1997. Kedua, Indonesia masih menarik bagi modal asing -- betul, bahwa kebanyakan mereka masuk dalam bentuk portfolio, bukan PMA yang produktif; sehingga, bersifat jangka pendek (seringkali oleh koran disebut 'uang panas'); tapi negara lain di region sama belum mampu menawarkan return untuk portfolio seperti Indonesia saat ini. Ketiga, kondisi saat ini jelas beda dengan kondisi Indonesia menjelang krisis 1997/98 -- pada saat itu 1) Kredit ke sektor riil jor-joran, sekarang mandek, karena isu risiko default (perbankan saat ini lebih suka fee-based income ketimbang melakukan fungsi sebenarnya: penyaluran kredit); 2) Cadangan devisa tipis (dan lihat alasan pertama di atas); 3) Fundamental ekonomi lebih baik ketimbang kondisi pra-krisis 1997/98.
Tentu saja ketiga alasan ini tidak berarti semuanya tanpa masalah. Misalnya, jika Indonesia tidak berhasil membuat diri lebih menarik (iklim investasi dan segalanya), maka aliran modal jangka pendek bisa saja berbalik arah dengan cepat; dan mau tidak mau cadangan akan tergerus.
Tapi kembali lagi, kekuatiran akan krisis sepert 1997/98 adalah berlebihan.
Lagipula, masak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali?
Tambahan: kolom Faisal Basri hari ini bernada sama: kemungkinan krisis a la 1997/98 sangat kecil (Kompas, 28 Mei). Dana jangka pendek berjumlah sekitar 15 milyar dolar AS atau Rp 130 trilyun: Rp 80 trilyun dalam bentuk SUN (Surat Utang Negara), Rp 40 trilyun dalam SBI (Sertifikat Bank Indonesia), dan Rp 10 trilyun dalam saham. Utang pemerintah dan swasta yang harus dibayar sekitar 5 milyar dolar AS. Totalnya dengan demikian 20 milyar dolar. Sementara cadangan devisa masih 50 milyar dolar. Cadangan ini naik hampir 15 milyar dolar dari posisi tahun lalu. Kenaikannya disumbangkan oleh surplus neraca transasi berjalan (64 persen), neraca modal (16 persen), dan penyesuaian/omisi (20 persen) -- yang terakhir adalah apa yang disebut 'uang panas'.
Catatan: Untuk alasan yang tidak saya ketahui, RSS-feed untuk blog ini tidak ter-update dalam Bloglines maupun di Google Reader. Saya sedang berusaha memperbaikinya. Mohon maaf. Menurut Bloglines, hal ini bisa terjadi untuk WordPress. Saya memang menggunakan klon WordPress untuk Blogger di sini (lihat kredit di bawah). Terima kasih, dan mohon bersabar. (Aco)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment