Catatan: Untuk alasan yang tidak saya ketahui, RSS-feed untuk blog ini tidak ter-update dalam Bloglines maupun di Google Reader. Saya sedang berusaha memperbaikinya. Mohon maaf. Menurut Bloglines, hal ini bisa terjadi untuk WordPress. Saya memang menggunakan klon WordPress untuk Blogger di sini (lihat kredit di bawah). Terima kasih, dan mohon bersabar. (Aco)

Sunday, May 13, 2007

Pasar yang Bukan Pasar

Pemerintah sedang sibuk menyusun Peraturan Presiden untuk Pasar Moderen. Seperti biasa, lama dan berlarut-larut, karena tarik-menarik kelompok-kelompok kepentingan.

Yang lucu adalah ada usulan (desakan, tepatnya, dari Asosiasi Pemasok atau apalah namanya itu) yang ingin memasukkan syarat dan ketentuan dagang (trading terms) yang mencakup "harga yang wajar". Pasar adalah tempat (dalam arti fisik maupun abstrak) bertemunya penjual dan pembeli yang lalu bertransaksi (baca: negosiasi). Jika keduanya mendapatkan 'surplus', maka jadilah transaksi itu. Jika tidak, tidak. Nah, 'pasar' yang harganya diatur oleh pihak ketiga (sebenarnya tidak sepenuhnya 'pihak ketiga', karena ia adalah perwujudan keinginan sebuah kelompok kepentingan yang masuk lewat lobi ke pemerintah) adalah bukan pasar.

Hari Gini Nasionalisasi?

Dunia (sosialis) menyambut Evo Morales di Bolivia yang menasionalisasi berbagai perusahaan dan industri yang sebelumnya didominasi pemilik asing.

Bayangkan ilustrasi berikut. Anda, setelah melakukan observasi, memutuskan untuk membeli rumah dan menetap di satu kota kecil. Anda melakukan semuanya sesuai peraturan dan prosedur: punya sertifikat rumah, akta pembelian, bayar pajak, dan sebagainya. Tiba-tiba suatu hari, pemerintah di kota itu memutuskan bahwa Anda tidak boleh tinggal di situ. Anda harus pergi.

Nasionalisasi a la Morales ya seperti itu.

Kalau mau taruhan, kita lihat saja 5-10 tahun lagi. Saya yakin Bolivia nggak akan maju-maju, kecuali mereka melakukan reformasi yang bias pasar.

Vietnam dan Cina yang komunis aja ngerti.

Tambahan: Sahabat Morales, Hugo Chavez sedang dilanda demonstrasi besar-besaran. Pasalnya, Chavez berniat untuk mengambil alih RCTV, stasiun dan jaringan televisi yang memang cukup kritis terhadap pemerintahan Chavez. Yang menarik, puluhan ribu orang turun ke jalan. Artinya, bukan cuma pegawai dan pekerja RCTV. Rupanya anak-anak muda Venezuela sadar juga bahwa hak-hak mereka sedang digerogoti oleh Chavez. (Berita di sini)

Investasi Rendah, Siapa Takut?

Paling enak saat ini menyalahkan iklim investasi.

Tapi apakah betul biang keladi lambatnya perekonomian adalah karena iklim investasi yang jelek? Mungkin iya, tapi bukan satu-satunya alasan. Sebab, hampir semua negara di Asia Tenggara-plus mengalami masalah dengan rendahnya PMA. Tapi berbeda dengan Indonesia, ekspor mereka sangat mengesankan. Lihat saja Cina, Vietnam, dan bahkan Malaysia.

Mengapa negara-negara tersebut mampu menggenjot ekspor sementara investasi mereka melambat? Karena mereka masuk ke dalam jaringan produksi global. Ini yang disebut Gene Grossman, sebagai 'perdagangan dalam tugas' (trade in task). Jika sebuah negara bisa masuk ke dalam jaringan seperti itu, maka ia tidak perlu investasi terlalu banyak. Tapi, ia tetap bisa menggenjot ekspor (bahkan lebih berhasil, dengan menggunakan jaringan tersebut).

Untuk ini, kelihatannya kita masih ketinggalan kereta.

Biro Kredit

Mengapa perbankan ogah menurunkan tingkat bunga pinjaman mereka, sekalipun Bank Indonesia sudah menurunkan BI rate berkali-kali? Karena mereka masih melihat risiko default yang besar.

Jadi, masalahnya adalah risiko. Bank Indonesia dan pemerintah, ketimbang ribut-ribut tentang tingkat bunga yang kondusif bagi sektor riil, harusnya memikirkan faktor risiko ini. Faktor risiko berhubungan erat dengan informasi. Saat ini, ketimpangan informasi menjadi katalis besarnya risiko yang ditakutkan oleh perbankan. Artinya, mereka tidak punya informasi yuang cukup tentang peminjam potensial.

Bank Indonesia ketimbang sibuk mengurusi skema kredit untuk UKMK (yang sebenarnya bukan tugas mereka), mungkin sebaiknya memikirkan cara untuk mengurangi ketimpangan informasi dan risiko ini.

Caranya antara lain adalah mengembangkan Biro Kredit. (Ya, BI punya unit dengan nama seperti ini, tapi dengan fungsi yang berbeda dengan yang ingin saya bicarakan saat ini). Biro Kredit ini mempunyai fungsi utama sebagai bank informasi kredit dan debitur. Idealnya, setiap saat bank bisa mengakses informasi dari calon peminjam. Ia akan meluluskan permintaan pinjama jika misalnya sejarah kredit si calon peminjam dapat diterima. Sebaliknya, para calon peminjam bisa mengakses informasi tentang sejarah kredit mereka dan meminta koreksi jika menurut mereka ada yang tidak tepat di dalam sejarah mereka.

Saya percaya, Biro Kredit seperti ini akan mampu mengurangi ketimpangan informasi. Dan karenanya mengurangi risiko.

Krisis lagi?

Isu hangat belakangan ini adalah apakah akan ada krisis ekonomi lagi a la 1997/98. Saya tidak percaya Indonesia akan kena lagi. Pertama, cadangan devisa kita mendekati USD 50 milyar -- akan relatif lebih mudah untuk meredam gejolak ketimbang kondisi kita 1997. Kedua, Indonesia masih menarik bagi modal asing -- betul, bahwa kebanyakan mereka masuk dalam bentuk portfolio, bukan PMA yang produktif; sehingga, bersifat jangka pendek (seringkali oleh koran disebut 'uang panas'); tapi negara lain di region sama belum mampu menawarkan return untuk portfolio seperti Indonesia saat ini. Ketiga, kondisi saat ini jelas beda dengan kondisi Indonesia menjelang krisis 1997/98 -- pada saat itu 1) Kredit ke sektor riil jor-joran, sekarang mandek, karena isu risiko default (perbankan saat ini lebih suka fee-based income ketimbang melakukan fungsi sebenarnya: penyaluran kredit); 2) Cadangan devisa tipis (dan lihat alasan pertama di atas); 3) Fundamental ekonomi lebih baik ketimbang kondisi pra-krisis 1997/98.

Tentu saja ketiga alasan ini tidak berarti semuanya tanpa masalah. Misalnya, jika Indonesia tidak berhasil membuat diri lebih menarik (iklim investasi dan segalanya), maka aliran modal jangka pendek bisa saja berbalik arah dengan cepat; dan mau tidak mau cadangan akan tergerus.

Tapi kembali lagi, kekuatiran akan krisis sepert 1997/98 adalah berlebihan.

Lagipula, masak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali?

Tambahan: kolom Faisal Basri hari ini bernada sama: kemungkinan krisis a la 1997/98 sangat kecil (Kompas, 28 Mei). Dana jangka pendek berjumlah sekitar 15 milyar dolar AS atau Rp 130 trilyun: Rp 80 trilyun dalam bentuk SUN (Surat Utang Negara), Rp 40 trilyun dalam SBI (Sertifikat Bank Indonesia), dan Rp 10 trilyun dalam saham. Utang pemerintah dan swasta yang harus dibayar sekitar 5 milyar dolar AS. Totalnya dengan demikian 20 milyar dolar. Sementara cadangan devisa masih 50 milyar dolar. Cadangan ini naik hampir 15 milyar dolar dari posisi tahun lalu. Kenaikannya disumbangkan oleh surplus neraca transasi berjalan (64 persen), neraca modal (16 persen), dan penyesuaian/omisi (20 persen) -- yang terakhir adalah apa yang disebut 'uang panas'.